Label

Selasa, 16 Juni 2015

Suku Moronene - Sulawesi Tenggara

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
SUKU MORONENE



Oleh :

Nama                             : Noldy Febby Inaldo
Npm                              : 58414005
Kelas                             : 1IA02



UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN 2014 – 2015


BAB 1
PENDAHULUAN
 Suku Moronene adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah Sulawesi Tenggara. Sebelum kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yaitu kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam kada (suatu legenda dalam sastra moronene). Didalam kada dituturkan bahwa kerajaan Moronene diperintah oleh seorang Raja yang bernamaTongki Pu’u Wonua. Tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau adalah seorang keturunan Raja dari sebuah kerajaan. Nama Moronene telah lazim digunakan untuk nama bahasa dan nama suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah Kerajaan yaitu Kerajaan Moronene. Secara etimologis istilah Moronene berasal dari dua kata yaitu moro yang artinya sejenis, serupa, dan kata nene adalah nama tumbuhan resam batangnya dapat dibuat pengikat pagar, atap dan lain-lain. Lingkungan habitat yang terdiri dari pulau Kabaena dan ujung daratang Sulawesi Tenggara dengan topografi yang sebagian besar bergunung-gunung dan ditumbuhi hutan dan ilalang (lueno) berpengaruh terhadap sistem mata pencaharian penduduk. Karena sebelum ditemukannya emas pada tahun 2008 silam, masyarakat moronene selalu berladang dan bersawah pada daerah-daerah yang subur, sebagian penduduk hidup berburuh di padang (lueno) yang kaya akan rusa, anoa, dan kerbau hutan. Jenis mata pencaharian lain adalah berdagang dengan penduduk yang berada di daerah pantai. Selain itu ada juga yang menjadi pegawai negeri dan pegawai di perusahaan swasta.


(Gambar 1 Suku Moronene)



BAB 2
SEJARAH / ASAL-USUL
Pada awalnya mereka adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sebuah peta yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah tercantum nama Kampung Hukaea sebagai kampung terbesar suku Moronene, yang saat ini wilayah pemukiman mereka ini masuk dalam areal Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di 7 kecamatan yang berada di kabupaten Buton dan kabupaten Kolaka. Penyebaran orang Moronene ini terdapat juga di kabupaten Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953. Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala, bagia orang Moronene disebut sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur mereka.
  • ·         Folosofi

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene khususnya di Kelurahan Ranhampuu Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana terlihat sangat kuat dari berbagai persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah satunya persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan. Dimana benda-benda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.   

BAB 3
TRADISI SUKU
Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan. Adat perkawinan ini masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Adat perkawinan ini juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia. Masyarakat Kabaena sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia dengan keanekaragaman suku yang mendiami seluruh pelosok tanah air melambangkan pula keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hukum adat yang mengatur perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan dalam setiap masyarakat atau suku sering berbeda-beda. Tata cara adat perkawinan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, demikian pula adat perkawinan suku moronene memiliki adat perkawinan yang berbeda-beda dengan berbagai suku bangsa di Indonesia akan tetapi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut justru merupakan unsur yang penting yang memberikan identitas kepada setiap suku bangsa di Indonesia. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene khususnya di Kelurahan Ranhampuu Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana terlihat sangat kuat dari berbagai persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah satunya persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan. Dimana benda-benda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.
Sebagai salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan merupakan bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untukmengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan simbol sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang  tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda. Makna simbolik benda dalam adat perkawinan sebagai salah satu karya sastra (budaya),menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan kepada suatu yang religius (Wellk dan Warren dalam Darmawan. 2006: 2).
Hal itu disebabkan karena pada dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Makna simbolik benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Moronene, ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan. Dilihat dari lahirnya makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene, mengenai bentuk dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum adat suku Moronene yaitu:tahap mongapi (peminangan)disini telah ditentukan benda yang digunakan adalah pinca (piring), rebite (daun sirih), wua (pinang),tagambere (gambir), ahu (tembakau) serta ngapi (kapur sirih). mesampora (masa pertunangan) alat dan bahan yang digunakan pada masa pertunangan adalah sawu (sarung), sinsi wula (cincin emas).
Alat dan bahan yang digunakan pada saat  montangki (mengantar buah) adalah nilapa(ikan salai yang dibungkus di pelepah pinang), punti (pisang), towu (tebu), nii mongura (kelapa muda), gola (gula merah), tagambere  (gambir), wua (pinang), rebite (sirih), kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), duku (nyiru). Molangarako (mengantar kedua pengantin kerumah orang tua laki-laki), adapun benda yang digunakan adalah kain putih (kaci), benang putih (bana) dan kelapa (nii), beras (inisa), lesung (nohu), kampak (pali), peti (soronga). Penyerahanpokok adat(langa) sebelum akad nikah dilaksanakan, adapunbenda-bendadalam (langa)  yaitu karambau(kerbau), sawu (sarung) dan kaci (kain putih) serta empe (tikar yang terbuat dari daun pandan). Benda – benda adat yang digunakan sesuai pada tahapan dan waktu yang telah dientukan oleh para tokoh adat di atas, tentunya memiliki nilai tersendiri yang sangat bermakna bagi mereka. Nilai-nilai ini berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia baik secara vertikal dengan sang pencipta maupun secara horizontal dengan sesama manusia. Nilai yang tertuang dalam adat perkawinan suku Moronene adalah: Pertama nilai religius yang berkaitan erat dengan unsur kepercayaan tentang adanya makhluk gaib, makhluk halus dan roh-roh jahat serta kepercayaan tentang adanya sang pencipta alam dan beserta isinya, yakni Allah SWT. Kedua nilai estetika menyangkut sikap dan penampilan seseorang dalam mengungkapkan dan menikmati hal-hal yang megandung nilai-nilai keindahan dan artistik karya manusia. Ketiga nilai sosial adalah suatu nilai yang terdapat pada setiap individu mewujudkan pada orang lain atau lingkungannya sehingga dapat terlihat dan terwujud suatu kerjasama yang baik dengan dan dilandasi suatu pengertian bahwa satu pekerjaan bila dikerjaka secara bersama-sama bagaimanapun beratnya akan terasa ringan. Masyarakat Kabaena khususnya suku Moronene di Kelurahan Rahampuu  saat ini umumnya tidak memahami dengan jelas makna simbolik apa yang sebenarnya tersirat dalam benda-benda adat yang digunakan dalam perkawinan suku moronene, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya hanya di ketahui oleh kalangan tokoh-tokoh adat saja. Ini terlihat bahwa kurangnya inisiatif dari para pemuda atau remaja untuk mempelajari adat istiadat budayanya sendiri, yang diharapkan dapat menjadi penerus dan pemelihara kelestarian budaya lokal sebagai ciri khas suku Moronene di Kabaena. Seiring dengan perkembangan zaman belakangan ini disadari atau tidak secara perlahan dalam adat perkawinan suku Moronene telah mengalami pergeseran nilai dan tata cara. Diantaranya adalah sarana dan nilainya tidak lagi berdasarkan status sosial, atau kelengkapan adat sebagaimana yang digariskan dalam hukum adat, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kemampuan ekonomi seseorang. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat di Kelurahan Rahampuu, Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana mencerminkan benda-benda yang digukan dalam adat perkawinan tidak lagi sesuai dengan kebiasaan nenek moyang terdahulu, meskipun tanpa menghilangkan hukum adat yang menggariskan cara dan nilai perkawinan tersebut.

BAB 4
KESIMPULAN
           Suku Moronene adalah salah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat adat-dulu sering disalahartikan sebagai suku terasing-di Sulawesi Tenggara. Di kaki pulau yang mirif huruf K itu ada suku Tolaki, Muna, dan Wolio (tiga yang terbesar),lalu ada Wawoni, Moronene, Kalisusu, Ciacia, serta Wakatobi. Suku Moronene memang hidup di kawasan sumber air. Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. Tidak diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang dibuat pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung Hukaea, yakni kampung terbesar orang Moronene. Seperti kebanyakan masyarakat adat lainnya, orang Moronene juga melakukan perladangan berpindah dengan sistem rotasi. Tapi sistem itu sudah lama ditinggalkan dan mereka memilih menetap. Suku Moronene juga dikenal pandai memelihara ekosistem mereka. Jonga atau sejenis rusa, misalnya, masih sering ditemui di sekitar permukiman mereka di Hukaea, termasuk burung kakatua jambul kuning, satwa endemik Sulawesi yang dilindungi. Namun, sifat asli suku ini, yang memegang tegung adat mosobu (pasrah dan tidak melawan), dan etos kerjanya yang rendah membuat mereka rentan terhadap penggusuran.



DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar