SUKU MORONENE
Oleh :
Nama : Noldy Febby
Inaldo
Npm : 58414005
Kelas : 1IA02
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN 2014 – 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Suku Moronene adalah suatu suku bangsa
yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah Sulawesi Tenggara.
Sebelum kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yaitu
kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam kada (suatu legenda dalam
sastra moronene). Didalam kada dituturkan bahwa kerajaan Moronene diperintah
oleh seorang Raja yang bernamaTongki Pu’u Wonua. Tidak diketahui dari mana
asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau adalah seorang
keturunan Raja dari sebuah kerajaan. Nama Moronene telah lazim
digunakan untuk nama bahasa dan nama suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam
satu wadah Kerajaan yaitu Kerajaan Moronene. Secara etimologis
istilah Moronene berasal dari dua kata yaitu moro yang
artinya sejenis, serupa, dan kata nene adalah nama tumbuhan resam batangnya
dapat dibuat pengikat pagar, atap dan lain-lain. Lingkungan habitat yang
terdiri dari pulau Kabaena dan ujung daratang Sulawesi Tenggara dengan
topografi yang sebagian besar bergunung-gunung dan ditumbuhi hutan dan ilalang
(lueno) berpengaruh terhadap sistem mata pencaharian penduduk. Karena sebelum
ditemukannya emas pada tahun 2008 silam, masyarakat moronene selalu
berladang dan bersawah pada daerah-daerah yang subur, sebagian penduduk hidup
berburuh di padang (lueno) yang kaya akan rusa, anoa, dan kerbau hutan. Jenis
mata pencaharian lain adalah berdagang dengan penduduk yang berada di daerah
pantai. Selain itu ada juga yang menjadi pegawai negeri dan pegawai di
perusahaan swasta.
(Gambar 1 Suku
Moronene)
BAB 2
SEJARAH / ASAL-USUL
Pada awalnya mereka adalah bangsa
nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga
akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sebuah
peta yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah tercantum nama
Kampung Hukaea sebagai kampung terbesar suku Moronene, yang saat ini wilayah
pemukiman mereka ini masuk dalam areal Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di 7 kecamatan yang berada di
kabupaten Buton dan kabupaten Kolaka. Penyebaran orang Moronene ini terdapat
juga di kabupaten Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan
keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953. Kampung Hukaea, Laea,
dan Lampopala, bagia orang Moronene disebut sebagai Tobu
Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur mereka.
- · Folosofi
Berdasarkan pengamatan diketahui
bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene khususnya di Kelurahan Ranhampuu
Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana terlihat sangat kuat dari berbagai
persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah satunya
persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan.
Dimana benda-benda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib
dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.
BAB 3
TRADISI SUKU
Suku Moronene adalah salah satu
suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang
dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus
dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi
ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan. Adat perkawinan ini
masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan
hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Adat perkawinan
ini juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada
suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia.
Masyarakat Kabaena sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia dengan
keanekaragaman suku yang mendiami seluruh pelosok tanah air melambangkan pula
keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hukum adat yang mengatur perkawinan.
Berlakunya hukum adat perkawinan dalam setiap masyarakat atau suku sering
berbeda-beda. Tata cara adat perkawinan antara masyarakat yang satu dengan yang
lain, demikian pula adat perkawinan suku moronene memiliki adat perkawinan yang
berbeda-beda dengan berbagai suku bangsa di Indonesia akan tetapi dengan adanya
perbedaan-perbedaan tersebut justru merupakan unsur yang penting yang memberikan
identitas kepada setiap suku bangsa di Indonesia. Berdasarkan pengamatan
diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene khususnya di Kelurahan
Ranhampuu Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana terlihat sangat kuat dari
berbagai persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah
satunya persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat
perkawinan. Dimana benda-benda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang
wajib dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.
Sebagai salah satu produk budaya,
simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan merupakan bentuk
pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untukmengkomunikasikan pikiran dan
perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu
bentuk pengungkapan simbol sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang
berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2).
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun,
di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda.
Makna simbolik benda dalam adat perkawinan sebagai salah satu karya sastra
(budaya),menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang
menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal
itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang
sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu
berdasarkan kepada suatu yang religius (Wellk dan Warren dalam Darmawan. 2006:
2).
Hal itu disebabkan karena pada
dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana
untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Makna simbolik benda yang
digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Moronene, ditinjau dari
fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana
kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun
sama dalam titik hidup dan kehidupan. Dilihat dari lahirnya makna simbol dari
benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan
tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene, mengenai bentuk
dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum adat suku
Moronene yaitu:tahap mongapi (peminangan)disini telah ditentukan benda yang
digunakan adalah pinca (piring), rebite (daun sirih), wua (pinang),tagambere
(gambir), ahu (tembakau) serta ngapi (kapur sirih). mesampora (masa
pertunangan) alat dan bahan yang digunakan pada masa pertunangan adalah sawu
(sarung), sinsi wula (cincin emas).
Alat dan bahan yang digunakan
pada saat montangki (mengantar buah)
adalah nilapa(ikan salai yang dibungkus di pelepah pinang), punti (pisang),
towu (tebu), nii mongura (kelapa muda), gola (gula merah), tagambere (gambir), wua (pinang), rebite (sirih), kompe
(keranjang yang terbuat dari daun agel), duku (nyiru). Molangarako (mengantar
kedua pengantin kerumah orang tua laki-laki), adapun benda yang digunakan
adalah kain putih (kaci), benang putih (bana) dan kelapa (nii), beras (inisa),
lesung (nohu), kampak (pali), peti (soronga). Penyerahanpokok adat(langa)
sebelum akad nikah dilaksanakan, adapunbenda-bendadalam (langa) yaitu karambau(kerbau), sawu (sarung) dan
kaci (kain putih) serta empe (tikar yang terbuat dari daun pandan). Benda –
benda adat yang digunakan sesuai pada tahapan dan waktu yang telah dientukan
oleh para tokoh adat di atas, tentunya memiliki nilai tersendiri yang sangat
bermakna bagi mereka. Nilai-nilai ini berhubungan dengan hidup dan kehidupan
manusia baik secara vertikal dengan sang pencipta maupun secara horizontal
dengan sesama manusia. Nilai yang tertuang dalam adat perkawinan suku Moronene
adalah: Pertama nilai religius yang berkaitan erat dengan unsur kepercayaan
tentang adanya makhluk gaib, makhluk halus dan roh-roh jahat serta kepercayaan
tentang adanya sang pencipta alam dan beserta isinya, yakni Allah SWT. Kedua nilai
estetika menyangkut sikap dan penampilan seseorang dalam mengungkapkan dan
menikmati hal-hal yang megandung nilai-nilai keindahan dan artistik karya
manusia. Ketiga nilai sosial adalah suatu nilai yang terdapat pada setiap
individu mewujudkan pada orang lain atau lingkungannya sehingga dapat terlihat
dan terwujud suatu kerjasama yang baik dengan dan dilandasi suatu pengertian
bahwa satu pekerjaan bila dikerjaka secara bersama-sama bagaimanapun beratnya
akan terasa ringan. Masyarakat Kabaena khususnya suku Moronene di Kelurahan
Rahampuu saat ini umumnya tidak memahami
dengan jelas makna simbolik apa yang sebenarnya tersirat dalam benda-benda adat
yang digunakan dalam perkawinan suku moronene, sehingga nilai-nilai yang
terkandung didalamnya hanya di ketahui oleh kalangan tokoh-tokoh adat saja. Ini
terlihat bahwa kurangnya inisiatif dari para pemuda atau remaja untuk
mempelajari adat istiadat budayanya sendiri, yang diharapkan dapat menjadi
penerus dan pemelihara kelestarian budaya lokal sebagai ciri khas suku Moronene
di Kabaena. Seiring dengan perkembangan zaman belakangan ini disadari atau
tidak secara perlahan dalam adat perkawinan suku Moronene telah mengalami
pergeseran nilai dan tata cara. Diantaranya adalah sarana dan nilainya tidak
lagi berdasarkan status sosial, atau kelengkapan adat sebagaimana yang
digariskan dalam hukum adat, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
kemampuan ekonomi seseorang. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat di
Kelurahan Rahampuu, Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana mencerminkan
benda-benda yang digukan dalam adat perkawinan tidak lagi sesuai dengan
kebiasaan nenek moyang terdahulu, meskipun tanpa menghilangkan hukum adat yang
menggariskan cara dan nilai perkawinan tersebut.
BAB 4
KESIMPULAN
Suku Moronene adalah salah satu
dari sekian banyak kelompok masyarakat adat-dulu sering disalahartikan sebagai
suku terasing-di Sulawesi Tenggara. Di kaki pulau yang mirif huruf K itu ada
suku Tolaki, Muna, dan Wolio (tiga yang terbesar),lalu ada Wawoni, Moronene,
Kalisusu, Ciacia, serta Wakatobi. Suku Moronene memang hidup di kawasan sumber
air. Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari
Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000
tahun sebelum Masehi. Tidak diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai
menghuni kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang
dibuat pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung
Hukaea, yakni kampung terbesar orang Moronene. Seperti kebanyakan masyarakat
adat lainnya, orang Moronene juga melakukan perladangan berpindah dengan sistem
rotasi. Tapi sistem itu sudah lama ditinggalkan dan mereka memilih menetap.
Suku Moronene juga dikenal pandai memelihara ekosistem mereka. Jonga atau
sejenis rusa, misalnya, masih sering ditemui di sekitar permukiman mereka di
Hukaea, termasuk burung kakatua jambul kuning, satwa endemik Sulawesi yang
dilindungi. Namun, sifat asli suku ini, yang memegang tegung adat mosobu
(pasrah dan tidak melawan), dan etos kerjanya yang rendah membuat mereka rentan
terhadap penggusuran.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar